Kenapa Jogja?

Amalia Zulfa P.

--

Sumber: Dokumentasi Pribadi (Stasiun Tugu Jogjakarta-Pintu Timur)

Saat pelajaran geografi, kita dibekali ilmu pengetahuan bahwa Indonesia memiliki 2 musim yakni penghujan dan kemarau. Musim penghujan pada rentang bulan Oktober-April dan kemarau pada rentang April-Oktober. Memasuki pertengahan April, intensitas hujan di Jogja masih cukup sering. Relatif lama, terkadang deras terkadang gerimis kecil.

Mendungnya, suara rintiknya, gemuruh petirnya, sekejap kilatnya. Kali ini, aku menikmati itu semua sendiri. Ada perasaan “penuh” di hati saat bisa kembali menginjakkan kaki di kota ini, setelah hampir 3 tahun lamanya tidak pernah mengunjungi. Bagi sebagian orang, 3 tahun mungkin bukan waktu yang lama. Namun tidak bagiku yang setiap tahun berusaha untuk selalu hadir dan menikmati tumbuh kembangnya kota ini.

Kembali ke Jogja. Dibanding dengan 3 tahun yang lalu, tentu ada banyak perubahan dan perbedaan sebagai refleksi diri, pun dengan perspektifku terhadap kota istimewa ini. Ada sudut pandang baru yang membuatku menilai bahwa Jogja adalah kota yang memiliki bias. Ini tentang dua hal yang berbeda. Sudut pandangku tentang atmosfer yang ada di kota ini dan seseorang yang juga tinggal di kota ini.

Dua hal yang berbeda ini yang membuatku menyempatkan datang dan singgah lagi di kota ini untuk beberapa waktu. Harapanku, dengan datang ke kota ini nampaknya bisa menjadi salah satu bentuk cara berdamaiku dengan menerima takdir yang telah Allah berikan padaku.

Merayakan sendiri. Menikmati tiap sudut kota Jogja sendiri. Entah Jogja bagian mana saja yang sudah dipijak. Utara, timur, tengah, barat, selatan. Ujar Bapak Ojol, aku sudah hampir melalui wilayah itu semua. Perjalanan kemarin adalah perjalanan yang luar biasa. Benar-benar sendiri kemana-mana. Berdialog dengan batin seiring kaki melangkah ke arah tujuan. Pasar Kotagede, Pasar Beringharjo, Titik Nol, Malioboro, Buku Akik, Sate Ratu, Museum Sonobudoyo, beberapa Cafe dan Gelato, Pameran Seni Tambon, dan Bakmi Jawa Mbah Gito. Semuanya menyenangkan. Sepi, mungkin ada dirasa saat ada yang bertanya, “Ke Jogja sendiri, Mbak?” Selebihnya, perasaan sepi itu masih bisa kuatasi dengan keriuhan isi kepalaku dan angan-angan tentang Jogja di masa mendatang.

Lalu, kenapa Jogja? Pertanyaan pemantik yang mungkin jawabannya akan selalu abstrak. Tidak ada alasan konkret untuk mengagumi dan mencintai kota ini sedari dulu. Mendengar orang lain menyebutkan namanya saja pun sudah membuat hati ini terpanggil, merasa hidup dan menjadi bagian dari ruhnya padahal sekalipun hidup untuk jangka waktu yang panjang disana belum pernah dirasakan. Terlepas dari isu-isu underdog yang mengerikan dan belum lekas dituntaskan, Jogja tetaplah Jogja.

Tapi, memang itu uniknya. Jogja punya kekuatan magis untuk menarik sepenuhnya rasa suka-cintaku. Bahkan saat aku harus mengetahui fakta ada seorang yang mungkin memberikan banyak pelajaran mengenai takdir Allah yang jalannya tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, Jogja tetap begini adanya. Ia tetap istimewa meskipun saat aku masih harus sembuh dari luka yang nyatanya kubuat sendiri.

Terima kasih Jogja untuk kehangatannya beberapa waktu lalu. Terima kasih sudah memberikan ketenangan dan sedikit memberikan kepuasan atas rasa penasaranku terhadap beberapa titik sudutmu. Kamu, tetap ramah. Pun orang hebat itu, juga akan tetap kuanggap baik hatinya sampai kapanpun. Aku yakin, sudut hatinya masih memiliki milyaran kebaikan, yang jelasnya tidak untuk dirinya sendiri, namun dibagikan ke sebanyak-banyak orang yang bisa ia jangkau.

Dengan berakhirnya perjalananku di kota Jogja, aku pun sudah memupuk perasaan itu sedalam-dalamnya di tanah itu. Perasaan yang mungkin lama-kelamaan akan menjadi antik dan cantik meskipun tak bisa kusentuh kembali. Ia akan tumbuh, dari benih hingga menjadi bunga yang harum merekah. Tak akan kuganggu tumbuhnya, tak akan kupetik, akan kubiarkan semesta melihat dan menyaksikan bunga itu tumbuh dan menebarkan aroma harumnya (bisa kubayangkan wanginya seperti parfume ostara yang kupunya).

Jogja, tak akan jemu aku untuk kembali. Entah kapan, atau mungkin dengan siapa akan kembali kesana?

**Tulisan ini dibuat untuk menguji kemampuan diri ini dengan “strategi 3 kata” dalam buku Creative Writing karya A.S. Laksana. Ternyata benar, menyenangkan dan nampaknya akan kupakai lagi strategi ini untuk memberikan ruang konsistensi agenda menulisku.

--

--

Responses (1)

Write a response